Jumat, 23 Oktober 2015

SERUAN PERSATUAN KEPADA KHILAFAH


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Alloh, dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasiq”  (QS Al-Hadid 16)

Saudaraku seiman hadaakallah... ketahuilah olehmu, bahwa Alloh subhanahu wata”ala telah mewajibkan kepada kita untuk bersatu, kewajiban tersebut didasarkan pada nash-nash Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu kalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka , maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya  agar kamu mendapat petunjuk”(Qs. Ali-’Imran [3]: 103)

Dia (Alloh) yang telah mensyari`atkan kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad)  dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS Asy-Syuraa [42] 13)

“dengan kembali bertaubat kepada-Nya, dan bertaqwalah kepada-Nya, serta dirikanlah sholat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang Musyrik (orang yang menyekutukan Alloh), yaitu, orang-orang yang memecah belah Agama mereka menjadi beberapa golongan, setiap golongan merasa bangga terhadap apa yang ada pada golongan mereka (QS Ar-Ruum 31-32)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah persatuan umat ini bersabda:
“Barangsiapa mendatangi kalian – sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) – dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan Jamaah kalian, maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim]

Di samping itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam  menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin – Anshar dengan Yahudi:

“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad – Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib – serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka – bahwa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain…” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119)

Nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah tersebut menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam di bawah satu kepemimpinan seorang Khalifah.  Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’i bagi orang yang berupaya memecah-belah Ummat Islam menjadi beberapa firqoh/golongan/kelompok.

Selain Al-Quran dan As-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata;
“Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam).” Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya,  sehingga menjadi ijma’ di kalangan mereka. Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas (sumber hukum keempat) untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,

“Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!” artinya Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Dengan nash tersebut maka menjadi jelaslah bahwa bersatunya ummat Islam adalah satu kewajiban syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya, Karena itu, tidak mengherankan bila para imam-imam mazhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahwa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang  Khalifah saja, tidak boleh lebih,
“…para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumullah– bersepakat pula bahwa kaum muslimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun tidak.” (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416)

Setelah kita mengetahui nash-nash Al-Qur’an dan Hadits serta Ijma’ Ulama tentang kewajiban bersatu, yang menjadi pertanyaan kita saat ini adalah, DIMANA KITA HARUS BERSATU DAN BAGAIMANA CARANYA ???

Dimana kita harus bersatu ?
Setelah berakhirnya sistem Nubuwwah (Nabi sebagai Ulil Amri), maka estafeta kepemimpinan dilanjutkan oleh sistem Khilafatul Muslimin/Khilafah Islamiyyah (Khalifah sebagai Ulil Amri), sesuai dengan apa yang Rasulullah Nubuwwatkan.

Dari Nu’man bin Basyir Radiallahu ‘Anhu, Rasulullah sallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
”Adalah masa Nubuwwah (Kenabian)  itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehandak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemu- dian Allah mengangkatnya apabila Ia meng hendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyom bong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad).

“Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa Khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu berkata kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang Khalifah di muka bumi . Mereka bekata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ” (QS.Al-Baqaarah: 30).

Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan Khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam (pimpinan).

Selanjutnya Ibnu Katsir menukilkan kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:
 “Sesuatu yang menyebabkan kewajiban itu tidak dapat terlaksana dengan sempurna,maka dia menjadi wajib adanya”.
Ayat lain yang menjadi dalil wajibnya menegakkan Khilafah adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).

Pada ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan agar orang yang beriman untuk mentaati Ulil Amri, lalu siapakah Ulil Amri yang dimaksud di ayat itu?

Ulil Amri setelah wafatnya Nabi adalah seorang Khalifah bukan yang lain,
Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah Ummat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan Ummat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.

Kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:

“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi Amir (pimpinan)” (HR.Ahmad).

Asy-Syaukani berkata:”Hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan (Ulil Amri) di kalangan umat Islam. Dengan adanya kepemimpinan, Ummat Islam akan tehindar dari perselisihan sehingga terwujudlah kasih sayang diantara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan”.

Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:

“Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa Khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Hadits ini di samping menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yang  selalu dipimpin oleh para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam sepeninggal beliau.

*Nubuwwah adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi.
Saudaraku rahimakallah..
Pada hadits ini Rasulullah sallallahu ‘alahi wasallam menjelaskan bahwa sepeninggal beliau umat Islam akan dipimpin oleh para Khalifah, seperti Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi. para Khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak menerima wahyu.

Oleh karena itu Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai berikut:
 “Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia.

Ijma’ Ulama tentang kewajiban mengangkat Khalifah:

a. Asy Syaikh Muhammad Al-Khudlri Bik
Di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan Khilafah (kepemimpinan Islam) setelah Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam.

b. Al-Jurjani
“Mengangkat Imam/Khalifah adalah salah satu dari sebesar-besar maksud dan sesempurna-sempurna nya kemaslahatah ummat”.

c. Al-Ghazali.
“Ketentraman dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya kepemimpinan yang ditaati, oleh karenanya orang mengatakan:’Agama dan kepemimpinan adalah dua saudara kembar’. Dan karenanya pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan kepemimpinan adalah pengawal. Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan tersia-sia.

d. Ibnu Khaldun
“Mengangkat Imam/Khalifah adalah wajib. Telah diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingat bahwa para sahabat segera membai’at Abu Bakar setelah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan menyerahkan urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap masa sesudah itu tidak pernah masyarakat dibiarkan dalam keadaan tidak berpemimpin. Semuanya merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya Imam.

e. Al-Mawardi
“Andaikata tidak ada Imam, masyarakat tentu menjadi kacau balau (anarkhis) dan tidak ada yang memperhatikan kepentingan mereka.

f. Yusuf Al-Qardhawi
“Disebutkan dalam “Mandzumah Al-Yanharah”

“Kewajiban mengangkat Imam yang adil adalah ketentuan syara’ bukan ketetapan akal”. oleh karena itu jika kaum muslimin tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa. karena mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu fardlu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk melaksanakannya.

Bagaimana cara mengangkat Khalifah ?

Setelah kita mengetahui bahwa Alloh subhanahu wata’ala telah mewajibkan kita semua untuk bersatu, lantas dimana kita harus bersatu, selanjutnya kita bahas bagaimana cara mengangkat seorang Ulil Amri/Khalifah sebagai suatu kewajiban mutlak untuk beribadah kepada Alloh ???

Jawaban yang paling tepat atas pertanyaan ini adalah;
Cara yang paling syar’i mengangkat Ulil Amri/Khalifah adalah dengan Syari’at Bai’at sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi shalallahu‘alahi wasallam, Syari’at  Bai’at bukanlah ajaran sesat seperti yang telah dipopulerkan oleh orang-orang kafir dan musyrik dalam rangka mereka menjauhkan Ummat Islam dari syariat nya itu sendiri.

Berikut ini saya sampaikan dalil-dalil tentang Syari’at Bai’at:

“Dahulu bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya, sesungguhnya setelahku ini tidak ada Nabi dan akan ada setelahku beberapa Khalifah bahkan akan bertambah banyak, sahabat bertanya: ”Apa yang engkau perintahkan kepada kami yaa Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka haknya. Maka sesungguhnya Allah akan menanya mereka tentang hal apa yang diamanatkan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/204. Lafadz Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila dibai’at dua Khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).” (HR. Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/137)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dan barangsiapa membai’at imam/khalifah dengan berjabat tangan dan kesungguhan hati, maka haruslah ia mentaatinya semampunya. Maka jika datang orang lain akan merebutnya, maka pukullah leher orang tersebut.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/467, An-Nasai, Sunan An-Nasai VII/153-154. Lafadz Muslim)

Dari beberapa hadits tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa setelah Nabi wafat Syari’at Bai’at hanya diberikan kepada seorang Khalifah sebagai pengganti estafeta kepemimpinan Ummat Islam, setelah sebelumnya Syari’at Bai’at itu hanya diberikan kepada Nabi shalallahu’alahi wasallam, sebagaimana keterangan Hadits berikut ini:

Ubadah bin Shomit Radliallahu ‘anhu berkata :
Kami berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan semangat ataupun lemah (berat), dan untuk tidak menentang perintah kepada ahlinya serta untuk menegakkan (kebenaran) atau berkata dengan benar di manapun kami berada, tidak takut dalam membela agama Allah dari celaan orang-orang yang mencelanya.” (HR. Al Bukhari dari Ubadah bin Shamit, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Ahkam: IX/96, Muslim, Shahih Muslim: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/202, An-Nasai, Sunan An-Nasai VII/137-138. Lafadz Al-Bukhari)

Apa itu Syari’at Bai’at ?

Bai’at menurut bahasa adalah “janji setia” (Muhithul Muhith:I/64). Adapun menurut istilah adalah “Mengikat janji atas sesuatu seraya berjabatan tangan sebagai tanda kesempurnaan perjanjian tersebut dan keikhlasannya. Bai’at pada periode pertama Islam yang ketika itu mereka membai’at Khalifah dengan memegang tangan orang yang mereka serahi kekhilafahan, sebagai tanda penerimaan mereka kepadanya dan sebagai janji untuk mentaatinya dan menerima kepemimpinannya.”
(Muhithul Muhith I/64)

Pahala Melaksanakan Bai’at dan Menepatinya

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang berbai’at kepadamu sesungguhnya mereka berbaiat kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang mengingkari bai’atnya niscaya akibat pelanggarannya akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa yang menepati bai’atnya, maka Allah akan memberikan pahala yang besar.” (Q.S. Al Fath : 10).

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka ber perang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi ) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janji nya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli (Bai’at) yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 111)

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia (Bai’at), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak anaknya, tidak akan berdusta yang mereka ada adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dengan urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al-Mumtahanah:12)


Ancaman tidak Berbai’at dan Mengkhianati Bai’atnya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa melepas tangan dari taat akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dengan tidak punya alasan. Dan barangsiapa mati sedang tidak ada ikatan bai’at pada lehernya maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh : II/136)

Yang dimaksud “seperti mati Jahiliyah” adalah kematian dalam kesesatan, perpecahan dan tidak mempunyai imam yang ditaati. (Kitab Al-Hamisy Shahih Muslim II/136)

Penutup:

Demikianlah risalah dan ajakan untuk bersatu  kedalam sistem Ummat Islam (Khilafatul Muslimin / Khilafah Islamiyyah) ini kami sampaikan kepada saudaraku seiman, semoga kita termasuk orang-orang yang bersegera dalam kebaikan, dan semoga Alloh subhanahu wata’ala pun memudahkan kita dalam melaksanakan semua kewajiban yang telah diperintahkan-Nya, Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin..,

“Yaa Alloh, saksikanlah, bahwa telah aku sampaikan perintahmu kepada hambamu untuk dilaksanakan, maka saksikanlah  !!!”

“dengan kembali bertaubat kepada-Nya, dan bertaqwalah kepada-Nya, serta dirikanlah sholat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang Musyrik (orang yang menyekutukan Alloh), yaitu, orang-orang yang memecah belah Agama mereka menjadi beberapa golongan, setiap golongan merasa bangga terhadap apa yang ada pada golongan mereka (QS Ar-Ruum 31-32)

**semua isi risalah ini menjadi tanggung jawab pribadi saya dihadapan Alloh subhanahu wata’alaa di Yaumil Akhir kelak, Insya Alloh.

Untuk tanggapan dan pertanyaan silahkan hubungi:
Hp. 0812-7289-1924
Blog: alkhilafahrawajitu.blogspot.com
Facebook: Yusuf Abu Hafshah
Website:www.khilafatulmuslimin.com

                                                                                               
                                                                                               



s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar