Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka
mengingat Alloh, dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan
janganlah kalian menjadi orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi
keras, dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasiq” (QS
Al-Hadid 16)
Saudaraku
seiman hadaakallah... ketahuilah olehmu,
bahwa Alloh subhanahu wata”ala telah mewajibkan kepada kita untuk bersatu, kewajiban
tersebut didasarkan pada nash-nash Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat, Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kamu
sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu kalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas
kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara
hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi
jurang api neraka , maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah
menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”(Qs. Ali-’Imran [3]:
103)
Dia (Alloh) yang telah
mensyari`atkan kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS Asy-Syuraa [42] 13)
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya, dan bertaqwalah
kepada-Nya, serta dirikanlah sholat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang
Musyrik (orang yang menyekutukan Alloh), yaitu, orang-orang yang memecah
belah Agama mereka menjadi beberapa golongan, setiap golongan merasa bangga
terhadap apa yang ada pada golongan mereka (QS Ar-Ruum 31-32)
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dalam masalah persatuan umat ini bersabda:
“Barangsiapa mendatangi kalian – sedang urusan
(kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) – dan
dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan Jamaah kalian,
maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim]
Di samping itu, Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menegaskan
pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin – Anshar dengan Yahudi:
“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad – Nabi antara orang-orang beriman
dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib – serta yang mengikut
mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka – bahwa mereka
adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain…” (Lihat Sirah
Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119)
Nash-nash Al-Qur`an
dan As-Sunnah tersebut menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum muslimin atas
dasar Islam di bawah satu kepemimpinan seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman
berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’i bagi orang
yang berupaya memecah-belah Ummat Islam menjadi beberapa firqoh/golongan/kelompok.
Selain Al-Quran dan As-Sunnah,
Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan
seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata;
“Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin
(Imam).” Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari
mereka yang mengingkarinya, sehingga
menjadi ijma’ di kalangan mereka. Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas
(sumber hukum keempat) untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini
berkata,
“Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad
Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang,
itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan
dua orang laki-laki!” artinya Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua
Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan
dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk
kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang
perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad
Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal.
6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)
Dengan nash tersebut
maka menjadi jelaslah bahwa bersatunya ummat Islam adalah satu kewajiban syar’i
yang tak ada keraguan lagi padanya, Karena itu, tidak mengherankan bila para
imam-imam mazhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad
bersepakat bulat bahwa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai
satu orang Khalifah saja, tidak boleh
lebih,
“…para imam mazhab
(Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumullah– bersepakat pula bahwa
kaum muslimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai
dua imam, baik keduanya sepakat maupun tidak.” (Lihat Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416)
Setelah kita
mengetahui nash-nash Al-Qur’an dan Hadits serta Ijma’ Ulama tentang kewajiban
bersatu, yang menjadi pertanyaan kita saat ini adalah, DIMANA KITA HARUS
BERSATU DAN BAGAIMANA CARANYA ???
Dimana
kita harus bersatu ?
Setelah berakhirnya sistem Nubuwwah (Nabi sebagai Ulil
Amri), maka estafeta kepemimpinan dilanjutkan oleh sistem Khilafatul
Muslimin/Khilafah Islamiyyah (Khalifah sebagai Ulil Amri), sesuai dengan apa
yang Rasulullah Nubuwwatkan.
Dari Nu’man bin Basyir Radiallahu ‘Anhu, Rasulullah
sallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
”Adalah masa Nubuwwah
(Kenabian) itu ada di tengah tengah kamu
sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia
menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh
jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehandak
Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki
untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan
‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemu- dian Allah mengangkatnya
apabila Ia meng hendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang
menyom bong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah
masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).”
Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad).
“Dahulu Bani Israil
senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi
lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat
beberapa Khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya
Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda:
”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah
kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang
digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan ingatlah tatkala
Tuhanmu berkata kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang
Khalifah di muka bumi . Mereka bekata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan
(Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui ” (QS.Al-Baqaarah: 30).
Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang
lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan Khilafah untuk
menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang
teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan
masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam
(pimpinan).
Selanjutnya Ibnu Katsir menukilkan kaidah Ushul Fiqh
yang berbunyi:
“Sesuatu yang menyebabkan kewajiban itu tidak
dapat terlaksana dengan sempurna,maka dia menjadi wajib adanya”.
Ayat lain yang menjadi dalil wajibnya menegakkan
Khilafah adalah:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri
di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).
Pada ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan
agar orang yang beriman untuk mentaati Ulil Amri, lalu siapakah Ulil Amri yang
dimaksud di ayat itu?
Ulil Amri setelah wafatnya Nabi adalah seorang
Khalifah bukan yang lain,
Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang
memerintah Ummat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan Ummat Islam untuk
mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan
kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil
Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut
Taqiyuddin An-Nabhani.
Kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan kepada
beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:
“Tidak halal bagi
tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang
diantara mereka menjadi Amir (pimpinan)” (HR.Ahmad).
Asy-Syaukani berkata:”Hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan (Ulil
Amri) di kalangan umat Islam. Dengan adanya kepemimpinan, Ummat Islam akan
tehindar dari perselisihan sehingga terwujudlah kasih sayang diantara mereka.
Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut
pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu
kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan”.
Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dahulu Bani Israil
senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi
lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat
beberapa Khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya
Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda:
”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah
kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang
digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Hadits ini di samping menginformasikan kondisi Bani
Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam diutus sebagai Rasul dan
Nabi terakhir yang selalu dipimpin oleh
para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam
tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam sepeninggal beliau.
*Nubuwwah
adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu
‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi.
Saudaraku rahimakallah..
Pada hadits ini Rasulullah sallallahu ‘alahi wasallam
menjelaskan bahwa sepeninggal beliau umat Islam akan dipimpin oleh para Khalifah,
seperti Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi. para Khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi
memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak menerima wahyu.
Oleh karena itu Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H)
mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai berikut:
“Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan
kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia.
Ijma’ Ulama tentang kewajiban mengangkat Khalifah:
a. Asy Syaikh Muhammad
Al-Khudlri Bik
Di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa
umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan Khilafah (kepemimpinan
Islam) setelah Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam.
b. Al-Jurjani
“Mengangkat Imam/Khalifah adalah salah satu dari
sebesar-besar maksud dan sesempurna-sempurna nya kemaslahatah ummat”.
c. Al-Ghazali.
“Ketentraman dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai
kecuali dengan adanya kepemimpinan yang ditaati, oleh karenanya orang
mengatakan:’Agama dan kepemimpinan adalah dua saudara kembar’. Dan karenanya
pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan kepemimpinan adalah pengawal.
Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan
tersia-sia.
d. Ibnu Khaldun
“Mengangkat Imam/Khalifah adalah wajib. Telah
diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingat bahwa para sahabat segera
membai’at Abu Bakar setelah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan menyerahkan
urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap masa sesudah itu
tidak pernah masyarakat dibiarkan dalam keadaan tidak berpemimpin. Semuanya
merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya Imam.
e. Al-Mawardi
“Andaikata tidak ada Imam, masyarakat tentu menjadi
kacau balau (anarkhis) dan tidak ada yang memperhatikan kepentingan mereka.
f. Yusuf Al-Qardhawi
“Disebutkan dalam “Mandzumah Al-Yanharah”
“Kewajiban mengangkat Imam yang adil adalah ketentuan
syara’ bukan ketetapan akal”. oleh
karena itu jika kaum muslimin tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka
semuanya menanggung dosa. karena mereka telah melalaikan satu kewajiban,
yaitu fardlu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk
melaksanakannya.
Bagaimana cara
mengangkat Khalifah ?
Setelah kita mengetahui bahwa Alloh subhanahu wata’ala
telah mewajibkan kita semua untuk bersatu, lantas dimana kita harus bersatu,
selanjutnya kita bahas bagaimana cara mengangkat seorang Ulil Amri/Khalifah
sebagai suatu kewajiban mutlak untuk beribadah kepada Alloh ???
Jawaban yang paling tepat atas pertanyaan ini adalah;
Cara yang paling syar’i mengangkat Ulil Amri/Khalifah
adalah dengan Syari’at Bai’at sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi
shalallahu‘alahi wasallam, Syari’at Bai’at
bukanlah ajaran sesat seperti yang telah dipopulerkan oleh orang-orang
kafir dan musyrik dalam rangka mereka menjauhkan Ummat Islam dari syariat nya
itu sendiri.
Berikut ini saya sampaikan dalil-dalil tentang Syari’at Bai’at:
“Dahulu bani Israil
selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti oleh Nabi
lainnya, sesungguhnya setelahku ini tidak ada Nabi dan akan ada setelahku
beberapa Khalifah bahkan akan bertambah banyak, sahabat bertanya: ”Apa yang
engkau perintahkan kepada kami yaa Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Tepatilah
bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka
haknya. Maka sesungguhnya Allah akan menanya mereka tentang hal apa yang
diamanatkan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132,
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/204. Lafadz Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila dibai’at dua Khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang
terakhir).” (HR. Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh:
II/137)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dan barangsiapa membai’at
imam/khalifah dengan berjabat tangan dan kesungguhan hati, maka haruslah ia
mentaatinya semampunya. Maka jika datang orang lain akan merebutnya, maka
pukullah leher orang tersebut.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Shahih Muslim dalam Kitabul
Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/467, An-Nasai, Sunan An-Nasai
VII/153-154. Lafadz Muslim)
Dari beberapa hadits tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa setelah
Nabi wafat Syari’at Bai’at hanya diberikan kepada seorang Khalifah sebagai
pengganti estafeta kepemimpinan Ummat Islam, setelah sebelumnya Syari’at Bai’at
itu hanya diberikan kepada Nabi shalallahu’alahi wasallam, sebagaimana
keterangan Hadits berikut ini:
Ubadah bin Shomit Radliallahu ‘anhu berkata :
Kami berbai’at kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat, baik
dalam keadaan semangat ataupun lemah (berat), dan untuk tidak menentang
perintah kepada ahlinya serta untuk menegakkan (kebenaran) atau berkata dengan
benar di manapun kami berada, tidak takut dalam membela agama Allah dari celaan
orang-orang yang mencelanya.” (HR. Al Bukhari dari Ubadah bin Shamit, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul
Ahkam: IX/96, Muslim, Shahih Muslim: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah
II/202, An-Nasai, Sunan An-Nasai VII/137-138. Lafadz Al-Bukhari)
Apa itu Syari’at Bai’at ?
Bai’at menurut bahasa adalah “janji setia”
(Muhithul Muhith:I/64). Adapun menurut istilah adalah “Mengikat janji atas
sesuatu seraya berjabatan tangan sebagai tanda kesempurnaan perjanjian tersebut
dan keikhlasannya. Bai’at pada periode pertama Islam yang ketika itu mereka
membai’at Khalifah dengan memegang tangan orang yang mereka serahi
kekhilafahan, sebagai tanda penerimaan mereka kepadanya dan sebagai janji untuk
mentaatinya dan menerima kepemimpinannya.”
(Muhithul Muhith I/64)
Pahala Melaksanakan Bai’at dan Menepatinya
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya
orang-orang yang berbai’at kepadamu sesungguhnya mereka berbaiat
kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang
mengingkari bai’atnya niscaya akibat pelanggarannya akan menimpa dirinya
sendiri dan barangsiapa yang menepati bai’atnya, maka Allah akan
memberikan pahala yang besar.” (Q.S. Al Fath : 10).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
Sesungguhnya Allah telah
membeli dari orang orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga
untuk mereka. Mereka ber perang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi ) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janji nya (selain)
daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli (Bai’at) yang telah
kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 111)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Hai Nabi, apabila
datang kepadamu perempuan perempuan yang beriman untuk mengadakan janji
setia (Bai’at), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan
Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak
anaknya, tidak akan berdusta yang mereka ada adakan antara tangan dan kaki
mereka dan tidak akan mendurhakaimu dengan urusan yang baik, maka terimalah
janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al-Mumtahanah:12)
Ancaman tidak Berbai’at dan Mengkhianati Bai’atnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa melepas
tangan dari taat akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dengan tidak punya
alasan. Dan barangsiapa mati sedang tidak ada ikatan bai’at pada lehernya
maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar,
Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh : II/136)
Yang dimaksud “seperti mati Jahiliyah” adalah kematian dalam kesesatan, perpecahan
dan tidak mempunyai imam yang ditaati. (Kitab Al-Hamisy Shahih Muslim II/136)
Penutup:
Demikianlah risalah dan ajakan untuk bersatu kedalam sistem Ummat Islam (Khilafatul
Muslimin / Khilafah Islamiyyah) ini kami sampaikan kepada saudaraku seiman,
semoga kita termasuk orang-orang yang bersegera dalam kebaikan, dan semoga
Alloh subhanahu wata’ala pun memudahkan kita dalam melaksanakan semua kewajiban
yang telah diperintahkan-Nya, Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin..,
“Yaa Alloh, saksikanlah, bahwa telah aku sampaikan perintahmu kepada
hambamu untuk dilaksanakan, maka saksikanlah !!!”
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya, dan bertaqwalah
kepada-Nya, serta dirikanlah sholat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang
Musyrik (orang yang menyekutukan Alloh), yaitu, orang-orang yang memecah belah
Agama mereka menjadi beberapa golongan, setiap golongan merasa bangga terhadap
apa yang ada pada golongan mereka (QS Ar-Ruum 31-32)
**semua isi risalah ini menjadi tanggung jawab pribadi saya dihadapan Alloh
subhanahu wata’alaa di Yaumil Akhir kelak,
Insya Alloh.
Untuk tanggapan dan
pertanyaan silahkan hubungi:
Hp. 0812-7289-1924
Blog:
alkhilafahrawajitu.blogspot.com
Facebook:
Yusuf Abu Hafshah
Website:www.khilafatulmuslimin.com
s